Minggu, 24 Januari 2016

THE NAKED TRAVELER ANTHOLOGY: HOROR (10 TRAVELER, 11 KISAH MENCEKAM)


Penerbit: B First (PT Bentang Pustaka)
Penulis: Trinity dkk
Tahun terbit: Sept 2015
Jumlah halaman: 184 hlm; 20.5 cm
Genre: Misteri, Travelling


Buku ini merupakan kumpulan kisah horor yang dialami para penulisnya. Beberapa cerita yang ada didalamnya tidak terlalu seram menurutku, namun memang ada satu-dua cerita yang sukses membuat merinding. Khususnya cerita tentang penginapan yang ‘angker’ dan wajah tak kasat mata yang tertangkap kamera. Mungkin karena aku pun mengalami hal yang serupa.
Sehingga aku turut merinding membacanya karena terbayang akan pengalamanku sendiri. Mengutip kata Trinity, “suatu kejadian horor itu pasti saya hapus dari memori otak. Dan pada saat harus ditulis, rasanya bagaikan koreng yang sudah kering tapi dipaksa dikorek lagi sampai berdarah.” Persis!! Itulah yang aku rasakan saat menulis hal ini sekarang.

Aku termasuk orang yang tidak bisa melihat makhluk gaib secara langsung, namun indera penciuman dan pendengaranku cukup peka, sehingga aku bisa ‘membaui’ dan ‘mendengar’ jika ada sesuatu hal yang tidak semestinya. Awalnya, jika terjadi hal di luar kebiasaan seperti itu, aku cuek saja karena biasanya aku tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan ‘mereka’. Pengalaman selama empat tahun tinggal di asrama kampus dan kerap mendengar sepak terjang beragam makhluk mistis di asrama kampus, membuatku semakin cuek jika bersinggungan dengan ‘mereka’. Aku mempercayai kalau ‘mereka’ ada dan hidup di dimensi yang berbeda, jadi wajar kalau hidup berdampingan dengan para makhluk tak kasat mata seperti itu.

Saat mulai terjun di dunia kerja, aku beberapa kali ditugaskan dinas ke kota/kabupaten lain. Dan mayoritas di penginapan yang pernah kusinggahi, ada satu-dua pengalaman mirip seperti yang diceritakan oleh mbak Jenny Jusuf atau mas Cipu.

Pernah suatu kali aku dinas ke Padang beberapa saat setelah terjadi musibah gempa besar yang menghancurkan hampir seluruh bangunan di kota. Aku datang ketika masa pemulihan, sehingga sejauh mata memandang terlihat proyek renovasi besar-besaran, termasuk penginapan yang akan aku tinggali selama disana. Untuk urusan proses pemesanan penginapan, aku meminta bantuan staf lokal untuk memesankan dua kamar di penginapan yang lokasinya tidak jauh dari tempat dinas kami di Padang, karena aku hanya dinas berdua. Rekanku seorang bapak kalem yang cukup pendiam. Jadi tidak mungkin meminta satu kamar untuk berdua selama kami dinas di Padang. Saat tiba di penginapan, aku cukup terkesan karena tempatnya bersih dan tampak seperti bangunan baru. Oleh resepsionis hotel, kami diantarkan menuju kamar yang berada di lantai 3. Saat naik lift, resepsionis menekan tombol 2 alih-alih tombol 3. Laah, bukankah kalau mau ke lantai 3 itu yang ditekan ya tombol 3? Aku heran sih, tapi tidak menanyakan apapun ke pak resepsionis. Kami jelas-jelas keluar di lantai 2. Dari lift, kami diajak menyusuri koridor yang di kiri dan kanannya berjajar kamar bernomor 201.. 202.. 203.. dst. Ini jelas-jelas di lantai 2. Di ujung koridor, pak resepsionis berbelok ke kiri. Ternyata disana ada tangga kecil yang merupakan tangga penghubung antar bangunan. Pak resepsionis naik ke tangga itu dan.. jreng.. di akhir anak tangga terlihat ada lorong yang berisi kamar-kamar, namun suasananya berbeda jauh dari bangunan pertama. Sepertinya itu lorong kamar di bangunan kedua. Bangunan kedua ini terlihat lebih kusam dan lebih tua. Terlihat ada retakan-retakan di dindingnya. Saat aku lihat nomor kamarnya, terlihatlah itu nomor 301.. 302.. dst. Kamar rekanku di nomor 302 sedangkan kamarku di nomor 305. Cukup jauh jaraknya dan perasaanku menjadi tidak enak, karena semenjak menginjakkan kaki di bangunan kedua, aku sudah mencium ‘wangi’ yang aku yakin bukan berasal dari pengharum ruangan. Saat masuk kamar pun, tercium bau apak yang sering aku jumpai di ruangan yang jarang ditinggali.

“Berani sendirian, Mel? Kalau ada apa-apa, panggil saja ya”, tanya rekanku yang ikut mengantar hingga ke pintu kamarku.

“Berani kok Pak. Saya gak masalah sendirian. Kalo gak nyaman, nanti saya minta pindah kamar”

Setelah pak resepsionis dan rekanku pergi, aku melihat ke sekeliling kamar. Kamar mandi berada di depan setelah pintu kamar. Aku melongok sekilas, kondisinya cukup bersih. Lalu ada satu tempat tidur besar yang dapat ditempati oleh dua orang. Dan di dekat jendela, ada sofa dan satu set meja kerja. Semuanya bersih, sih. Tapi aku masih merasa tidak nyaman karena ‘wangi’ yang sejak tadi kuhirup tidak kunjung hilang.

Malamnya, saat aku sudah berbaring di tempat tidur, terdengar keran air di kamar mandi menyala. Awalnya kupikir karena aku lupa menutup keran, sehingga aku beranjak ke kamar mandi untuk menutup kerannya. Lalu setelah aku kembali berbaring, keran kembali menyala. Idiiih.. bulu kudukku langsung merinding. Aku lantas menutup seluruh tubuh dengan selimut dan mulai membaca doa andalan kalau sedang merasa diganggu: baca ayat kursi tanpa jeda nafas sebanyak tiga kali, lalu tidur sembari zikir. Dulu, saat di asrama sih ampuh dan aku bisa tidur dengan tenang. Setelah beberapa saat membaca doa, suara air yang mengucur sudah tidak ada. Aku mulai tenang. Tapi kemudian, aku mendengar ada suara isakan tangis dari arah sofa (dan saat menuliskan ini aku kembali merinding). Awalnya sih seperti bisikan. Namun lama kelamaan terdengar jelas di kuping. Aku gak berani menoleh. Seumur-umur aku gak pernah lihat ‘penampakan’ dan gak akan pernah mau melihat. Cukuplah dengan membaui dan mendengar saja.

Doa-doa yang kubacakan mulai beragam. Doa apa saja yang terlintas di pikiran. Tapi isakan tangis tidak juga berhenti. Bahkan, sesekali terdengar lirihan minta tolong. Alamaaak.. aku juga minta ditolong kelesss.. Karena lelah, aku akhirnya tertidur, namun beberapa kali terbangun karena merasa telapak kakiku kedinginan padahal jelas-jelas kakiku berada di dalam selimut tebal.

Keesokan paginya, mataku terlihat bengkak dan sembab karena kurang tidur. Aku tidak berani menceritakan kejadian itu kepada rekanku, dan memilih untuk menceritakannya kalau sudah kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat ke tempat dinas, aku meminta untuk pindah kamar ke bangunan pertama. Rupanya rekanku memperhatikanku, karena setibanya di tempat dinas, dia langsung bertanya,

“Semalem digangguin ya?”, aku pun membalas dengan senyuman terpaksa sembari mengiyakan dengan anggukan.

Kemudian, staf lokal yang mengetahui aku diganggu bercerita kalau penginapanku merupakan salah satu penginapan yang terdampak cukup parah akibat gempa. Ada beberapa orang yang tewas tertimpa bangunan. Hoalaaaah.. pantesaan ada yang nangis-nangis minta tolong!!!

Naaah.. aku menyarankan bagi yang ingin bernostalgia dengan perasaan ‘pernah diganggu saat bepergian’, buku ini merupakan sarana yang pas untuk mengenang hal itu. Aku berani jamin, meminjam istilah mbak Trinity: “koreng-koreng yang mengering itu akan mulai terasa gatal dan menimbulkan rasa perih saat digaruk”.


Aku sih gak ingin baca ulang buku ini di mes tempatku kerja sekarang. Soalnya aku gak perlu bernostalgia, karena hingga saat ini ditulis pun, ‘mereka’ yang berada di mes terkadang ingin bermain-main dengan para manusia yang menginap disana. Walau tujuan utamanya mungkin hanya ingin menunjukkan eksistensi 'mereka' yang ada di sekitar kita. Tertarik mau coba?

0 comments:

Posting Komentar

Playlist