Jumat, 22 Januari 2016

Melawan Angin di Great Wall pintu Badaling


Great Wall Gate at Badaling
Senin, 10 Januari 2016, aku dan kedua rekanku berencana untuk mengunjungi Great Wall of China yang tersohor itu. Setelah browsing sana-sini, ditemukanlah gate termudah untuk mencapai Tembok Cina, yaitu di daerah Badaling. Berdasarkan informasi, area-nya mudah dijangkau oleh turis yang ingin berkunjung ke Tembok Cina secara mandiri alias gak pake jasa tur. Biasanya gate ini diakses oleh penduduk lokal yang mau berkunjung ke Great Wall. Untuk ke Badaling, ada dua tipe transportasi umum yang dapat digunakan, yaitu kereta dan bus. Bisa pilih salah satu atau gabungan keduanya, maksudnya berangkat naik bus pulangnya naik kereta atau sebaliknya.
Setelah diskusi selesai, ada kabar kalau tuan rumah kami selama di China juga kepengen ikut jalan bareng. Jadilah kami menginap di apartemen mereka pas malam sebelum keberangkatan . Lagipula, letak apartemen mereka lebih dekat ke Badaling.

Jam keberangkatan yang semula pukul 09.00, molor satu jam. Kami memang sepakat sih, untuk berangkat agak siang supaya terhindar dari situasi rush hour di Beijing yang konon dimulai pukul 07.00 sampai pukul 09.00. Dari apartemen, harus naik bus satu kali ke tempat pemberhentian bus 919,  karena bus 919 adalah bus yang langsung menuju Badaling. Di dalam bus 919 yang hangat, aku sempat tertidur, sehingga melewatkan banyak pemandangan menarik di kanan-kiri jalan. Kondektur bus 919 menurunkan kami di depan parkiran pusat informasi Great Wall di Badaling. Ternyata dari pusat informasi ini, kami masih harus naik bus satu kali lagi untuk mencapai loket pembelian tiket. Namun, bus-nya gratis dan berangkat setiap 30 menit.

Turun dari bus, kami disambut angin dingin yang bertiup cukup kencang. Setelah aku mengecek aplikasi cuaca di ponsel, terpampang kalau suhu saat itu minus 12 derajat celcius, dengan kecepatan angin 40 km/jam. Laaah.. sama kayak kecepatan angkot yang sering aku tumpangin. Pantes rasanya badan terdorong-dorong. Dari lokasi turun bus ke loket, perlu jalan kaki sekitar 700 meter. Terlihat mudah kalau dijalani saat kondisi cuaca cerah, suhu hangat, pakai pakaian tipis ala musim panas dan sepatu kets. Sayangnya, aku menjalaninya saat musim dingin dengan memakai pakaian super tebel (kombinasi trio thermal clothes-sweater-down jacket), syal, sarung tangan, dan kupluk, yang kalau ditotal berat pakaiannya saja sudah 5 kg sendiri. Belum lagi angin dingin yang bertiup cukup kencang, jadilah itu jarak 700 meter serasa 7 kilometer jauhnya. Bawa diri aja udah berat, apalagi ditambah bawa beban perasaan  ransel yang isinya perbekalan camilan.

di lorong, tiupan anginnya terasa lebih kencang
Makin mendekati loket, tiupan angin semakin kencang. Apalagi saat berada di lorong kecil yang merupakan pembatas antara jalanan dan gerbang, suara anginnya sangat mengganggu kuping. Aku sampai mencoba berjalan menyamping ala kepiting. Niatnya, sih, supaya gak jatuh tersungkur kalau terdorong angin.

Di depan loket, keinginan untuk mendaki Great Wall pupus sudah. Nyaliku menciut kala melihat jumlah tangga yang harus didaki dan jalan berkilo-kilo yang terbentang sejauh mata memandang. Belum lagi disertai tiupan mesra sang angin yang semakin kencang dan membawa udara dingin merasuk ke tulang. Sepertinya otakku terasa membeku. Saat itu, aku tidak bisa memikirkan hal lain selain mencari tempat yang hangat dan makan seporsi mie kuah panas. Hilang sudah semangat mendaki tangga Great Wall. Tergantikan dengan semangat mencari kedai terdekat yang menyediakan kehangatan dan kasih sayang menjual mie kuah panas. Rekan seperjalananku pun sepertinya satu pemikiran. Setelah mengambil beberapa foto di depan loket Great Wall, kami memutuskan untuk mencari kedai terdekat. Dan kedai terdekat itu ada di dekat lokasi pemberhentian bus, yang artinya berjarak 700 meter dari tempatku berdiri. Greaaaaat!!!

terlihat cerah tapi dinginnya menusuk hingga ke tulang
Kami berlarian menuju kedai terdekat, dengan asumsi kalau berlari badan akan menjadi lebih hangat. Beberapa turis asing yang berpapasan dengan kami hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan kami. Sesampainya di kedai, kami langsung memesan mie kuah panas. Beruntungnya, ada mie cup halal yang dijual di kedai itu. Horeeee... Tuhan mengasihi makhluknya yang manis macam aku ini. Kami diminta menunggu di lantai 2 kedai yang juga menjual beragam suvenir khas China. Di lantai 2 kedai, terdapat beberapa meja dan kursi makan. Ruangannya sangat hangat dan nyaman. Tak lama setelah kami duduk, ibu pemilik kedai datang membawa mie cup beserta termos berisi air panas. Yak, ternyata kami harus membuat sendiri mie-nya.

Selesai makan mie, berat rasanya beranjak dari kedai yang menawarkan kehangatan dan rasa nyaman. Namun, kami masih harus mengejar kereta yang akan membawa kami ke Yanqing untuk melihat Ice Festival. Untuk ke stasiun, cukup berjalan kaki sekitar 600 meter.. Whooaaaa.. Jalan lagi?? Dalam cuaca yang lebih dingin daripada freezer kulkas? Membayangkannya saja sudah membuat tengkuk merinding. Apalagi di rombongan kami ada seorang anak kecil yang kakinya sudah sedingin es. Kami memutuskan untuk naik taksi saja. Rekanku pun menelepon supir taksi langganannya. Tentunya dengan bahasa China. Tak berapa lama berbincang, dia menutup telepon lalu tersenyum datar pada kami. Aku menduga ada kabar yang kurang mengenakkan.
Me: "apa katanya Man?"
Rekanku: "gw tadi minta Wang (nama si supir) buat anter kita ke stasiun. Trus dia tanya, 'emangnya darimana mau kemana?' dan gw jawab: dari pemberhentian bus Badaling ke stasiun Badaling. Wang cuma bilang, 'itu kan deket. Jalan aja kenapa sih.' trus dia nutup teleponnya."
Me: -_-
Sesaat, kami hanya saling memandang satu sama lain. Lalu mulai berjalan ke arah stasiun dengan patah hati saling berdekatan agar tetap hangat. Di dekat pemberhentian bus, ada seorang supir taksi ilegal yang menghampiri kami untuk menawarkan jasanya. Setelah terjadi proses menawar yang singkat, kami setuju untuk menggunakan mobilnya, sebuah mobil sedan yang sedianya hanya mampu menampung empat orang dewasa termasuk supir.

Padahal rombongan kami terdiri dari lima orang dewasa dengan ukuran yang tidak bisa dibilang mungil dan satu anak kecil. Haha.. belum ditambah sang supir. Kalau mobilnya bisa bicara, aku yakin dia bakal bilang:
"Hayati lelah bang...."

3 comments:

K'to mengatakan...

Nice jouney sist.. Kapan-kapan pengen ke China euy..

Unknown mengatakan...

@K'to : Bro... kalo tetiba gw ke Aussie, lo jadi guide dadakan mau yaaa.. hahaha

K'to mengatakan...

Seapp.. hehe

Posting Komentar

Playlist