Selasa, 29 Juli 2014

#catatankaki


Bermula dari rasa penasaran akan cover yang menarik, akhirnya aku mengadopsi buku ini dari rak obralan di basement Gramedia Depok. Buku ini merupakan hasil kolaborasi dua penulis, @endikkoeswoyo dan @sarahkarind. Mereka menceritakan tentang kisah cinta dua manusia yang berbeda latar belakang dan kepribadian. Berdasarkan informasi itu, aku menebak bakal ada dua gaya penulisan yang berbeda.




Mungkin @endikkoeswoyo menulis tentang si cowok dan @sarahkarind menulis tentang si cewek. Atau mungkin sebaliknya? Entahlah..

Diceritakan kalau si cowok berprofesi sebagai wartawan media online. Dari segi finansial, keadaannya cukup memprihatinkan. Sedangkan profesi si cewek adalah senior account manager di perusahaan periklanan. Kondisi keuangannya sangat sehat karena penghasilannya delapan digit (gak dijelasin sih apakah delapan digit itu per bulan atau akumulasi setahun #pentingdibahas). Mereka bertemu di dunia maya melalui akun twitter dan instagram karena sama-sama menggunakan hashtag #catatankaki. Si cewek sering bepergian ke luar negeri dan mengunjungi tempat-tempat ikonik dari negara yang sedang dia kunjungi. Sedangkan si cowok sering mendatangi tempat-tempat eksotis di seluruh penjuru Indonesia.

Baru buka beberapa halaman awal, aku sudah disuguhi beraneka kalimat tidak efektif. Padahal jika disingkat atau dihilangkan, tidak akan mempengaruhi alur cerita, justru akan membuat pembaca lebih mudah memahami maksud yang ingin disampaikan si penulis. Selain itu, bertebaran kata yang sukses membuatku sering menoleh ke KBBI untuk meyakinkan apakah kata semacam 'hape' termasuk ke dalam kata baku. Hahaha.. Kemudian, mulai di pertengahan cerita, terlihat jelas tidak ada sinkronisasi antara kedua penulis, alurnya terasa 'patah'. Di bab sebelumnya, penulis A menyebutkan ini namun mengawang, eh di bab selanjutnya si penulis B bukannya menjelaskan ttg ini malah menyebutkan hal lain yang bertolak belakang dengan ini.
Membaca kata tidak baku di dalam sebuah novel selalu membuatku jengah dan bosan. Rasanya lebih seperti buku harian daripada novel. Sudah bisa ditebak bagaimana ending-nya, dan hampir aku kasih satu bintang kalau saja di buku ini gak ada quotes yang layak untuk diapresiasi. Namun ternyata, ada dua quotes yang berhasil menarik perhatianku dan bisa membuatku menambah satu bintang untuk buku ini.
"Wow banget Jakarta! Semua di sini serba bisa untuk delivery service, kecuali satu hal: jodoh".
"Who said money can't buy happiness? Yes maybe it's true, but still, money can buy me Furla, Stradifarius, Mango, and so on that can make me happy".
Penggambaran penulis akan negara Singapura sepertinya terlalu mendewakan negara itu. Yah wajar sih, berhubung mayoritas penduduk Indonesia kalangan menengah atas selalu 'kabur' kesana, entah dengan alasan pengobatan, belanja, atau liburan. Buatku, Singapura hanyalah salah satu negara yang perlu dicontoh dalam hal disiplin dan usaha pemerintahan untuk membuat Singapura mandiri. Walau aku menangkap kesan 'terlalu dipaksakan' dan 'tidak alami'. Sebagai anak yang dibesarkan di negeri yang kaya akan pemandangan alamnya, ketika aku mendengar suara cicit burung tengah malam di jalanan yang ramai akan kendaraan lalu lalang, tentu aku merasa itu hal yang aneh dan tidak lazim. Apalagi suaranya bukan berasal dari burung aslinya namun dari speaker yang menyala 24 jam. Rasanya aku seperti berada di alam buatan ala Hunger Games dimana semua hal yang terlihat alami dan natural ternyata dikendalikan oleh komputer!
Karena ada quotes yang aku suka, aku beri satu bintang untuk buku ini!!

0 comments:

Posting Komentar

Playlist