Dari awal terpajang rapi di salah satu rak toko buku langganan, aku sudah langsung tertarik untuk membeli buku ini. Apalagi penulisnya adalah Kim Dong Hwa yang juga membuat trilogi novel grafis favoritku: warna tanah, warna air, dan warna langit.
Di novel grafis ini, Kim Dong Hwa menceritakan beragam kisah di desa Yahwari melalui keseharian tukang pos bersepeda merah. Uniknya, di setiap surat yang ditujukan ke rumah-rumah di desa yahwari tidak menuliskan alamat rumah berdasarkan nomor rumah atau nama wilayah. Melainkan nama julukan untuk rumah yang dituju. Jadi setiap hari si tukang pos berkeliling mengantarkan surat ke rumah yang memiliki julukan, seperti:'rumah dengan semak-semak warna khaki', 'rumah bertepi bunga-bunga liar', 'rumah kuning dalam kehijauan', dan masih banyak lagi julukan yang lain.. Pertama kali si tukang pos mengantar surat, dia heran melihat beragam julukan itu..
Bukankah lebih sederhana jika menggunakan nomor? (hal12).Hebatnya si tukang pos, walau alamat rumah-rumah itu membuat kepala pusing, dia tetap mengirimkan surat ke alamat tujuan. Di desa yahwari, si tukang pos punya rumah favorit dan setiap pagi dia selalu mencari apakah ada surat untuk si pemilik rumah.. *hehehe, buat alibi supaya bisa datang setiap hari ya pak?* *kira-kira, kenapa ya dia seneng banget ke rumah itu??*
Di desa Yahwari ada dua jalan yang terpisah oleh sungai dan dihubungkan oleh sebuah jembatan. Jalan Yetdong dan Jalan Sedong namanya. Dan selama lima hari di waktu tertentu, diadakan pasar di jembatan tersebut. Hanya di tempat itulah penduduk di kedua jalan bertemu. Pagi hari, penduduk Yetdong datang untuk menjual berbagai hasil bumi dan ternak. Sedangkan penduduk Sedong membawa banyak uang. Sore hari, sebaliknya.
Hemmm.. Hanya dengan melihat gambar pemandangan di desa Yahwari melalui goresan tangan Kim Dong Hwa ini rasanya seperti diajak pulang ke kampung halaman kedua orang tuaku di Sleman, Jogja. Suatu tempat dimana sawah-sawah menghijau,sungai bening mengalir dari mata air gunung, udara yang bersih, dan penduduk yang mayoritas simbah-simbah ramah dan murah senyum *mayoritas anak mudanya merantau ke kota besar*. Setiap ada anak-cucu datang dari Jakarta atau kota besar lain, para tetangga langsung berkumpul sambil membawa beragam buah tangan yang enak-enak, seperti: gethuk singkong gula merah yang ditaburi parutan kelapa muda, geplak, peyek bayam, selondhok, dan sebagainya *lap iler*. Sementara aku dan adikku rebutan gethuk singkong gula merah, para simbah rebutan menanyakan kabar kami selama jauh dari kampung halaman.
Setelah membaca cerita 'pagoda baru' atau cerita 'teman si pria tua', aku jadi mengerti sekarang mengapa para simbah itu antusias njagong mengobrol hingga larut malam dengan kami. Tentu mereka kesepian karena mayoritas anak-cucu merantau. Dan kala ada salah satu anak-cucu tetangga yang mudik, kesepian mereka akan sedikit terobati. Jadi disela-sela ngobrol santai itu, pasti terselip pertanyaan tentang kabar anak-cucu mereka yang juga merantau di Jakarta. Tak jarang pula, ketika kami kembali ke Jakarta, bawaan kami bertambah dua kali lipat karena kami berperan sebagai 'kurir' bagi anak-cucu para simbah yang juga tinggal di Jakarta.
Nenekku pun mungkin seperti para simbah itu juga, karena semua anaknya merantau di kota-kota besar. Apalagi putri tertuanya sekarang tinggal di Nabire, Papua. Di dinding rumah nenekku, terpajang berbagai foto anak-cucu dalam bingkai sederhana. Ada foto pernikahan, foto wisuda, foto sepupuku ketika bayi, bahkan ada fotoku ketika berulang tahun yang pertama *yeayy..aku sudah punya fans di usia 1 tahun*.
Buatku, membaca buku ini mampu membuatku kembali ke masa kecil kala liburan ke rumah nenek. Mengingat kenangan manis yang akan lekat hingga akhir hayat.
0 comments:
Posting Komentar