Penerbit: B First (PT Bentang Pustaka)
Penulis: Trinity dkk
Tahun terbit: Sept 2015
Jumlah halaman: 184 hlm; 20.5 cm
Genre: Misteri, Travelling
Buku ini merupakan kumpulan kisah horor yang
dialami para penulisnya. Beberapa cerita yang ada didalamnya tidak terlalu
seram menurutku, namun memang ada satu-dua cerita yang sukses membuat
merinding. Khususnya cerita tentang penginapan yang ‘angker’ dan wajah tak
kasat mata yang tertangkap kamera. Mungkin karena aku pun mengalami hal yang
serupa.
Sehingga aku turut merinding membacanya karena terbayang akan pengalamanku sendiri. Mengutip kata Trinity, “suatu kejadian horor itu pasti saya hapus dari memori otak. Dan pada saat harus ditulis, rasanya bagaikan koreng yang sudah kering tapi dipaksa dikorek lagi sampai berdarah.” Persis!! Itulah yang aku rasakan saat menulis hal ini sekarang.
Sehingga aku turut merinding membacanya karena terbayang akan pengalamanku sendiri. Mengutip kata Trinity, “suatu kejadian horor itu pasti saya hapus dari memori otak. Dan pada saat harus ditulis, rasanya bagaikan koreng yang sudah kering tapi dipaksa dikorek lagi sampai berdarah.” Persis!! Itulah yang aku rasakan saat menulis hal ini sekarang.
Aku termasuk orang yang tidak bisa melihat
makhluk gaib secara langsung, namun indera penciuman dan pendengaranku cukup
peka, sehingga aku bisa ‘membaui’ dan ‘mendengar’ jika ada sesuatu hal yang
tidak semestinya. Awalnya, jika terjadi hal di luar kebiasaan seperti itu, aku
cuek saja karena biasanya aku tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan
‘mereka’. Pengalaman selama empat tahun tinggal di asrama kampus dan kerap
mendengar sepak terjang beragam makhluk mistis di asrama kampus, membuatku
semakin cuek jika bersinggungan dengan ‘mereka’. Aku mempercayai kalau ‘mereka’
ada dan hidup di dimensi yang berbeda, jadi wajar kalau hidup berdampingan
dengan para makhluk tak kasat mata seperti itu.
Saat mulai terjun di dunia kerja, aku beberapa
kali ditugaskan dinas ke kota/kabupaten lain. Dan mayoritas di penginapan yang
pernah kusinggahi, ada satu-dua pengalaman mirip seperti yang diceritakan oleh
mbak Jenny Jusuf atau mas Cipu.
Pernah suatu kali aku dinas ke Padang
beberapa saat setelah terjadi musibah gempa besar yang menghancurkan hampir
seluruh bangunan di kota. Aku datang ketika masa pemulihan, sehingga sejauh
mata memandang terlihat proyek renovasi besar-besaran, termasuk penginapan yang
akan aku tinggali selama disana. Untuk urusan proses pemesanan penginapan, aku
meminta bantuan staf lokal untuk memesankan dua kamar di penginapan yang
lokasinya tidak jauh dari tempat dinas kami di Padang, karena aku hanya dinas
berdua. Rekanku seorang bapak kalem yang cukup pendiam. Jadi tidak mungkin
meminta satu kamar untuk berdua selama kami dinas di Padang. Saat tiba di
penginapan, aku cukup terkesan karena tempatnya bersih dan tampak seperti
bangunan baru. Oleh resepsionis hotel, kami diantarkan menuju kamar yang berada
di lantai 3. Saat naik lift, resepsionis menekan tombol 2 alih-alih tombol 3. Laah,
bukankah kalau mau ke lantai 3 itu yang ditekan ya tombol 3? Aku heran sih,
tapi tidak menanyakan apapun ke pak resepsionis. Kami jelas-jelas keluar di
lantai 2. Dari lift, kami diajak menyusuri koridor yang di kiri dan kanannya
berjajar kamar bernomor 201.. 202.. 203.. dst. Ini jelas-jelas di lantai 2. Di
ujung koridor, pak resepsionis berbelok ke kiri. Ternyata disana ada tangga
kecil yang merupakan tangga penghubung antar bangunan. Pak resepsionis naik ke
tangga itu dan.. jreng.. di akhir anak tangga terlihat ada lorong yang berisi
kamar-kamar, namun suasananya berbeda jauh dari bangunan pertama. Sepertinya
itu lorong kamar di bangunan kedua. Bangunan kedua ini terlihat lebih kusam dan
lebih tua. Terlihat ada retakan-retakan di dindingnya. Saat aku lihat nomor
kamarnya, terlihatlah itu nomor 301.. 302.. dst. Kamar rekanku di nomor 302
sedangkan kamarku di nomor 305. Cukup jauh jaraknya dan perasaanku menjadi
tidak enak, karena semenjak menginjakkan kaki di bangunan kedua, aku sudah mencium
‘wangi’ yang aku yakin bukan berasal dari pengharum ruangan. Saat masuk kamar
pun, tercium bau apak yang sering aku jumpai di ruangan yang jarang ditinggali.
“Berani sendirian, Mel? Kalau ada
apa-apa, panggil saja ya”, tanya rekanku yang ikut mengantar hingga ke pintu
kamarku.
“Berani kok Pak. Saya gak masalah
sendirian. Kalo gak nyaman, nanti saya minta pindah kamar”
Setelah pak resepsionis dan rekanku
pergi, aku melihat ke sekeliling kamar. Kamar mandi berada di depan setelah
pintu kamar. Aku melongok sekilas, kondisinya cukup bersih. Lalu ada satu
tempat tidur besar yang dapat ditempati oleh dua orang. Dan di dekat jendela,
ada sofa dan satu set meja kerja. Semuanya bersih, sih. Tapi aku masih merasa
tidak nyaman karena ‘wangi’ yang sejak tadi kuhirup tidak kunjung hilang.
Malamnya, saat aku sudah berbaring di
tempat tidur, terdengar keran air di kamar mandi menyala. Awalnya kupikir
karena aku lupa menutup keran, sehingga aku beranjak ke kamar mandi untuk
menutup kerannya. Lalu setelah aku kembali berbaring, keran kembali menyala.
Idiiih.. bulu kudukku langsung merinding. Aku lantas menutup seluruh tubuh dengan
selimut dan mulai membaca doa andalan kalau sedang merasa diganggu: baca ayat
kursi tanpa jeda nafas sebanyak tiga kali, lalu tidur sembari zikir. Dulu, saat
di asrama sih ampuh dan aku bisa tidur dengan tenang. Setelah beberapa saat
membaca doa, suara air yang mengucur sudah tidak ada. Aku mulai tenang. Tapi
kemudian, aku mendengar ada suara isakan tangis dari arah sofa (dan saat
menuliskan ini aku kembali merinding). Awalnya sih seperti bisikan. Namun lama
kelamaan terdengar jelas di kuping. Aku gak berani menoleh. Seumur-umur aku gak
pernah lihat ‘penampakan’ dan gak akan pernah mau melihat. Cukuplah dengan
membaui dan mendengar saja.
Doa-doa yang kubacakan mulai beragam.
Doa apa saja yang terlintas di pikiran. Tapi isakan tangis tidak juga berhenti.
Bahkan, sesekali terdengar lirihan minta tolong. Alamaaak.. aku juga minta
ditolong kelesss.. Karena lelah, aku akhirnya tertidur, namun beberapa kali
terbangun karena merasa telapak kakiku kedinginan padahal jelas-jelas kakiku
berada di dalam selimut tebal.
Keesokan paginya, mataku terlihat
bengkak dan sembab karena kurang tidur. Aku tidak berani menceritakan kejadian
itu kepada rekanku, dan memilih untuk menceritakannya kalau sudah kembali ke
Jakarta. Sebelum berangkat ke tempat dinas, aku meminta untuk pindah kamar ke
bangunan pertama. Rupanya rekanku memperhatikanku, karena setibanya di tempat
dinas, dia langsung bertanya,
“Semalem digangguin ya?”, aku pun
membalas dengan senyuman terpaksa sembari mengiyakan dengan anggukan.
Kemudian, staf lokal yang mengetahui
aku diganggu bercerita kalau penginapanku merupakan salah satu penginapan yang
terdampak cukup parah akibat gempa. Ada beberapa orang yang tewas tertimpa
bangunan. Hoalaaaah.. pantesaan ada yang nangis-nangis minta tolong!!!
Naaah.. aku menyarankan bagi yang ingin
bernostalgia dengan perasaan ‘pernah diganggu saat bepergian’, buku ini
merupakan sarana yang pas untuk mengenang hal itu. Aku berani jamin, meminjam
istilah mbak Trinity: “koreng-koreng yang mengering itu akan mulai terasa gatal
dan menimbulkan rasa perih saat digaruk”.
Aku sih gak ingin baca ulang buku ini di mes
tempatku kerja sekarang. Soalnya aku gak perlu bernostalgia, karena hingga saat
ini ditulis pun, ‘mereka’ yang berada di mes terkadang ingin bermain-main
dengan para manusia yang menginap disana. Walau tujuan utamanya mungkin hanya ingin menunjukkan eksistensi 'mereka' yang ada di sekitar kita. Tertarik mau coba?
0 comments:
Posting Komentar